Minggu, 03 Februari 2013

Membangun Kemandirian

Sejak menikah, saya dan suami bekerja.  Pada H+1 sejak pernikahan kami, saya langsung boyong ke rumah kontrakan suami di sebuah pavilion di Jalan Radio Dalam.  Kebetulan rumah induknya milik teman sekantor kami juga.



Kemudian saya hamil anak pertama yang tadinya kami tidak mempunyai pembantu, jadi mencari pembantu senior yang biasa mengurusi bayi untuk merawat bayi kami setelah saya harus masuk kantor kembali.  Pembantu ini kalau sore setelah saya pulang kantor, dia pulang kerumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami.  Jadi anak malam hari hanya bersama saya dan suami.  Dari sana kemudian terbangun apa saja kebiasaan bayi saya kala malam hari dan kedekatan kami tetap terjaga.  Saya dan suami juga sepakat bahwa kalau week end kita mau jalan-jalan ke rumah orang tua saya, maka kita tidak usah membawa pembantu.  Jadi semua kebutuhan anak kita tangani sendiri.  Sampai pada suatu hari, ibu saya berkunjung kerumah saya dan menangis, beliau mengatakan “seharusnya ibu/eyang kan bisa menjagai anakmu kalau kamu sedang ke kantor”.  Lalu saya katakan, tidak apa2 dan Ibu tidak usah bersedih karena proses ini sudah berjalan dengan baik.

Memasuki usia anak masuk TK, saya memperkenalkan anak dengan dunia social, interaksi dengan teman, tidak membelikan dia game2 komputer seperti Nintendo dan sebagainya dan lebih mengutamakan kegiatan luar ruang.  Sebagai gantinya Bapaknya mengajari anaknya duduk di depan computer lalu disuruh mengetik kata yang dia senangi, jadilah dia mengetik “Doraemon” di layar Google Search.  Maka keluar semua gambar dora emon dan dia senang.  Lalu mencoba kata-kata yang lain.  Itupun dilakukan saat dia kita ajak ngelembur di kantor pada hari Sabtu, sehingga biar dia tahu juga lingkungan kerja orang tuanya (kebetulan saya dan suami sekantor di perusahaan IT). 

Ketika masuk TK,  kami putuskan dia harus ikut antar jemput sekolah – lalu kami ceritakan bahwa kalau naik mobil antar jemput jadi banyak temen, toh sekolah tidak terlalu jauh juga.  Pada hari kedua anak saya yang tua sudah mau naik mobil antar jemput, sedang tetapi dari belakang kami masih membututi takut2 dia mogok atau ngambek.  Tapi setelah seminggu dia sudah naik mobil itu sendiri tanpa dikawal.  Setelah anak kedua lahir, dan anak saya yang kedua sudah usia sekitar 4 tahun, saya naikkan ke pesawat Jakarta – Jogja tanpa orang tua, dan disana akan di jemput oleh Tantenya.  Sempat 2 x saya lakukan,, pertama anak yang tua malah menangis karena takut, tapi dengan membujuk dan mengatakan bahwa kamu harus bangga bisa naik pesawat sendiri, maka dia lalu berani sambil menjaga adik.

Pada masa mau masuk SMU, mereka selalu ingin masuk sekolah favorit, tapi jaraknya lumayan jauh dari rumah kami, jadi saya tekankan, syarat pertama kamu harus masuk rankin karena persaingan ketat, kedua harus mampu pulang dan pergi ke sekolah naik kendaraan umum bersama teman-teman.  Intinya tidak boleh merepotkan orang tua dalam hal antar dan jemput.  Ini terus berlaku hingga kuliah.

Ketika mengenang kembali semua proses tumbuh kembang anak saya, baru menyadari bahwa saya telah mengembangkan pribadi yang mandiri pada anak.  Untuk mengambil  keputusan tertentu misalnya ikut study tour atau tidak, baru mereka diskusi sama saya bagaimana sebaiknya.  Dalam beberapa hal setelah mereka mendengar pertimbangan dari sudut pandang saya sebagai ibu, pelaksanaan program yang mereka pilih menjadi lebih kaya dan lebih mencapai sasaran.  Tetapi secara umum saya membebaskan mereka untuk memilih atau melakukan ekstra kulikuler yang mereka senangi dan dimana perlu saya ikut melakukan persiapan-persiapannya.  Bukankan anak sebaiknya di encourage dan bukan di discourage?

Keinginan untuk mandiri pada anak harus didukung oleh orang tuanya, along the way kita juga harus memberikan pendidikan moral agama agar dalam memilih langkah kegiatan atau teman mereka punya pakem yang jelas arah mana yang akan ditempuh.

Tidak ada komentar: