Rabu, 27 Februari 2013

Mau Jadi PR Profesional ?

Dalam sebuah acara media briefing saya mendapat bantuan dari staff yang berlatar belakang pendidikan komunikasi massa, tetapi dia belum pernah bekerja sebagai staff humas atau mengerjakan sebuah media briefing.  Jadi pengetahuan apa yang bisa saya berikan kepada mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan ini dari awal hingga akhir, atau setidaknya menyangkut riset, perencanaan, implementasi dan reporting.


Maka, saya bicara dengan mereka, ternyata mereka belum pernah berhubungan dengan media.  Kebetulan client adalah sebuah perusahaan TI dan bukan dari Indonesia.  Jadi saya mulai dengan memberikan pengetahuan bagaimana harus menghubungi media, bicara dengan siapa, kapan menelpon, bagaimana membuat surat undangan, memasukan pitching ke dalam undangan, dan seterusnya.   Hal lain adalah saya minta mereka juga melakukan periodik media database update agar data selalu current.  Yang kerap kali orang lupakan adalah mencari informasi mengenai client, baca website mereka, apa produk dan jasa mereka, apa yang akan dikemukakan kepada media (yang biasa kita sebut key messages), bagaimana posisi client terhadap kompetitor mereka di Indonesia, bagaimana membeli produknya, apakah mereka mempunyai customer care center, telpon yang dapat dihubungi oleh pelanggan, dan seterusnya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah membuat Indonesia Media landscape (andai kata client bukan dari Indonesia) atau target media landscape industri tertentu bila mereka mau mencari liputan dari industri tertentu saja.  Pembuatan dokumen ini memerlukan riset, walau semua tersedia di Google atau lembaga2 riset yang ada, tapi tetap memerlukan analisa dan ketajaman untuk membuat sebuah kesimpulan.  Pengetahuan tentang produk client ini sangat penting dalam rangka membuat sebuah proposal yang berbobot. 

Lalu dalam proses perencanaan, saya meminta mereka memilih venue untuk media briefing, memilih media mana saja yang akan diundang, membuat surat undangan, proses pengiriman undangan, follow up, menyiapkan venue yang lengkap dengan perlengkapan audio visual, list kehadiran, dan press kit yang terdiri dari siaran pers, brochure produk dan biodata pembicara, mencetak folder.  Agenda juga perlu disiapkan serta kalau acara ini melibatkan pihak mitra client di Indonesia maka pihak2 yang terlibat juga dipersiapkan.  Kalau pembicara belum pernah mendapat media training, kita harus memberi tahu apa yang boleh dikatakan dan yang tidak boleh dikatakan kepada media. 

Menulis siaran pers memerlukan latihan menulis dan memasukan poin-poin yang harus dimasukan sebagai berita kunci.  Penulisan harus singkat, padat, to the point pada paragraph pertama karena hal ini akan menangkap atensi pembaca untuk selanjutnya tertarik pada paragraph2 berikutnya.  Semua dirangkai dalam kalimat2 singkat, karena pembaca media ingin mendapatkan berita terpenting dalam waktu membaca yang sesingkat mungkin.  PR staff juga harus belajar memposisikan diri sebagai awak media, yang waktu menulis berita harus riset beberapa data penunjang, mempunyai batasan jumlah kata dalam satu artikel, foto penunjang, dan deadline.  Kalau staff PR mengerti betul situasi ini, maka dia akan membantu wartawan memberikan foto, data penunjang, sehingga proses penulisan tidak memakan waktu.  Dalam kasus dimana siaran pers disediakan oleh pihak client, maka kita harus membaca dengan teliti dan menyederhanakan agar tulisan tidak terasa seperti kampanye marketing.

Pada tahap pelaksanaan, staff PR diharapkan mengerti betul apa yang akan dipresentasikan kepada media, membawa kamera untuk menangkap moment2 yang bagus, berfungsi sebagai MC, dan mengenal semua pembicara serta jabatannya.  Mampu berinteraksi dengan wartawan dengan sopan dan menjadi orang yang resourceful (mengetahui segala hal) untuk membuat konversasi yang bermutu.  Jangan pernah mengganggap rendah awak media, dan selalu siap menjadi jembatan antara client dengan media.  Pada pelaksanaan, ada saja yang bisa terjadi sehingga perlu penanganan cepat.  Misalnya media yang konfirm tidak hadir, yang bilang tidak bisa datang malah datang.  Juga media yang tidak diundang ikut datang karena diajak temannya.  Kadang ada juga orang yang menyamar jadi awak media tapi tidak membawa kartu nama, tidak membawa kartu pers.  Bila ini terjadi kita harus bijak, dan mencoba bertanya siapa pemimpin redaksi media yang dia wakili.  Kalau benar, coba tanyakan apakah dia kenal beberapa wartawan lain disana.  Itu salah satu cara untuk menghambat masuknya wartawan palsu.

Selesai acara maka kita memasuki tahap reporting.  Media monitoring setiap hari selama periode yang disetujui bersama.  Media yang dimonitor adalah media yang datang.  Kalau sesudah itu siaran pers juga dikirim ke media yang tidak datang, maka semua media yang dikirimi undangan harus di monitor.  Lalu membuat laporan mingguan dari semua kliping serta menterjemahkan dalam bahasa Inggris apabila client berbahasa Inggris.  Membuat evaluasi dari event yang telah berlangsung, apa yang harus diperbaiki, mengupdate media database dengan kartu2 nama awak media yang datang.  Serta mengirim email ucapan terima kasih apabila artikel kita sudah ditulis oleh mereka.  Setelah selesai periode monitoring, kita harus membuat media monitoring analysis.  Yang intinya adalah apa yang menjadi perhatian media berdasarkan semua artikel yang masuk.  Apakah ada catatan bagi client yang harus digaris bawahi.

Itu semua baru dasarnya saja, masih banyak yang bisa dikembangkan, tapi mudah-mudahan berguna bagi mereka yang ingin menjadi PR Profesional.

Minggu, 03 Februari 2013

Membangun Kemandirian

Sejak menikah, saya dan suami bekerja.  Pada H+1 sejak pernikahan kami, saya langsung boyong ke rumah kontrakan suami di sebuah pavilion di Jalan Radio Dalam.  Kebetulan rumah induknya milik teman sekantor kami juga.



Kemudian saya hamil anak pertama yang tadinya kami tidak mempunyai pembantu, jadi mencari pembantu senior yang biasa mengurusi bayi untuk merawat bayi kami setelah saya harus masuk kantor kembali.  Pembantu ini kalau sore setelah saya pulang kantor, dia pulang kerumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami.  Jadi anak malam hari hanya bersama saya dan suami.  Dari sana kemudian terbangun apa saja kebiasaan bayi saya kala malam hari dan kedekatan kami tetap terjaga.  Saya dan suami juga sepakat bahwa kalau week end kita mau jalan-jalan ke rumah orang tua saya, maka kita tidak usah membawa pembantu.  Jadi semua kebutuhan anak kita tangani sendiri.  Sampai pada suatu hari, ibu saya berkunjung kerumah saya dan menangis, beliau mengatakan “seharusnya ibu/eyang kan bisa menjagai anakmu kalau kamu sedang ke kantor”.  Lalu saya katakan, tidak apa2 dan Ibu tidak usah bersedih karena proses ini sudah berjalan dengan baik.

Memasuki usia anak masuk TK, saya memperkenalkan anak dengan dunia social, interaksi dengan teman, tidak membelikan dia game2 komputer seperti Nintendo dan sebagainya dan lebih mengutamakan kegiatan luar ruang.  Sebagai gantinya Bapaknya mengajari anaknya duduk di depan computer lalu disuruh mengetik kata yang dia senangi, jadilah dia mengetik “Doraemon” di layar Google Search.  Maka keluar semua gambar dora emon dan dia senang.  Lalu mencoba kata-kata yang lain.  Itupun dilakukan saat dia kita ajak ngelembur di kantor pada hari Sabtu, sehingga biar dia tahu juga lingkungan kerja orang tuanya (kebetulan saya dan suami sekantor di perusahaan IT). 

Ketika masuk TK,  kami putuskan dia harus ikut antar jemput sekolah – lalu kami ceritakan bahwa kalau naik mobil antar jemput jadi banyak temen, toh sekolah tidak terlalu jauh juga.  Pada hari kedua anak saya yang tua sudah mau naik mobil antar jemput, sedang tetapi dari belakang kami masih membututi takut2 dia mogok atau ngambek.  Tapi setelah seminggu dia sudah naik mobil itu sendiri tanpa dikawal.  Setelah anak kedua lahir, dan anak saya yang kedua sudah usia sekitar 4 tahun, saya naikkan ke pesawat Jakarta – Jogja tanpa orang tua, dan disana akan di jemput oleh Tantenya.  Sempat 2 x saya lakukan,, pertama anak yang tua malah menangis karena takut, tapi dengan membujuk dan mengatakan bahwa kamu harus bangga bisa naik pesawat sendiri, maka dia lalu berani sambil menjaga adik.

Pada masa mau masuk SMU, mereka selalu ingin masuk sekolah favorit, tapi jaraknya lumayan jauh dari rumah kami, jadi saya tekankan, syarat pertama kamu harus masuk rankin karena persaingan ketat, kedua harus mampu pulang dan pergi ke sekolah naik kendaraan umum bersama teman-teman.  Intinya tidak boleh merepotkan orang tua dalam hal antar dan jemput.  Ini terus berlaku hingga kuliah.

Ketika mengenang kembali semua proses tumbuh kembang anak saya, baru menyadari bahwa saya telah mengembangkan pribadi yang mandiri pada anak.  Untuk mengambil  keputusan tertentu misalnya ikut study tour atau tidak, baru mereka diskusi sama saya bagaimana sebaiknya.  Dalam beberapa hal setelah mereka mendengar pertimbangan dari sudut pandang saya sebagai ibu, pelaksanaan program yang mereka pilih menjadi lebih kaya dan lebih mencapai sasaran.  Tetapi secara umum saya membebaskan mereka untuk memilih atau melakukan ekstra kulikuler yang mereka senangi dan dimana perlu saya ikut melakukan persiapan-persiapannya.  Bukankan anak sebaiknya di encourage dan bukan di discourage?

Keinginan untuk mandiri pada anak harus didukung oleh orang tuanya, along the way kita juga harus memberikan pendidikan moral agama agar dalam memilih langkah kegiatan atau teman mereka punya pakem yang jelas arah mana yang akan ditempuh.

Sabtu, 02 Februari 2013

Need for Achievement


Hari hujan dari pagi, udara kurang bersahabat. Hari sabtu begini biasanya anak saya masih tidur karena keduanya adalah wanita-wanita pekerja keras. Karena suasana masih sepi, maka saya membuka notebook saya hendak memeriksa bahan presentasi tentang Komunikasi Bisnis yang akan saya ajarkan di kantor untuk karyawan-karyawan baru. Tiba-tiba saya teringat kepada pertanyaan salah satu teman sesama ibu rumah tangga yang kemarin sharing sama saya “apakah cara saya mendidik anak salah, yaitu menjaga mereka sejak kecil, jemput antar sekolah agar mereka tidak bergaul dengan orang2 yang salah, dan semua kebutuhan dipenuhi, tapi sekarang mereka kok seperti kurang motivasi untuk berkarya dan kurang drive”.


Tak lama kemudian anak saya yang kecil, yang sekarang bekerja sebagai konsultan human resources di perusahaan multinasional, bangun dan menggelendot. Seperti biasa hari sabtu kita awali dengan membuat jadwal mau kemana dan apa prioritas week end ini. Lalu saya mengutarakan pertanyaan yang sangat sederhana, Kez… apakah menurut kamu cara mendidik ibu kepada kamu dan kakak itu sudah baik dan benar? Kez masih terkantuk-kantuk, dan mencoba mengerti mengapa saya bertanya seperti ini. Oh lalu saya bilang ini buat blog ibu.

Kata Kez “dari kecil tuh aku udah punya “need for achievement”, pengen selalu dapat rangking, sejak TK seneng ikut kegiatan yang bisa naik panggung dan ikut perlombaan-perlombaan. Contohnya waktu SMP aku ikut lomba story telling bahasa Inggris sampai jadi juara 2 seluruh DKI, waktu masa kuliah aku pengen banget ikut misi budaya ke Spanyol dan Portugal walaupun ibu bilang enggak punya biaya, dan nilai kuliah enggak boleh jelek, dan semua itu tercapai, dan sangat memenuhi kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang saya miliki dalam hati saya”

Mhhh lalu saya mencoba mengkaitkan pernyataan Kez itu dengan cara mendidik saya yang dari kecil selalu melibatkan anak-anak dalam kegiatan yang sifatnya menaikan rasa percaya diri dia. Seperti misalnya, sejak TK dia saya ajarkan “kalau kamu ikut ibu ke super market lalu kamu terpisah, kamu gak boleh takut dan panic, tapi tanya sama mbak-mbak kasir katakan bahwa saya terpisah dari ibu saya namanya Tini. Nanti mereka akan bantu kamu mencari ibu. Dan ini memang pernah terjadi, walaupun Kez sempat nangis juga. Atau misalnya saya encourage dia untuk ikut lomba gambar, lomba paduan suara dan lain sebagainya. Setelah kuliah, saya memberikan pengertian bahwa masa kuliah dia hanya 4 tahun, karena biaya yang tersedia juga cuma buat 4 tahun. Maka alhamdullilah dia lulus dengan baik dan ditambah beberapa prestasi non akademik yang dia capai dan dia senangi.

Manusia membutuhkan need for achievement untuk bisa maju dan kreatif dalam menata hidup. Karena Kez punya kebutuhan itu, maka setiap awal tahun dia membuat listing apa yang ingin dicapai baik secara personal maupun secara professional – dan bagaimana mencapainya. Dari sejak dini saya membiasakan mengobrol dan diskusi dengan anak-anak tentang semua kegiatan mereka, dan dimana perlu saya melakukan coaching. Kadang bertukar pikiran karena mereka juga sekarang sudah berkembang melampaui saya kemampuannya. Tapi komunikasi dua arah ini sangat saya rasakan sebagai jembatan untuk mengetahui sejak dini apakah ada masalah yang sedang dia hadapi dan membicarakan bagaimana mengelolanya. Memiliki kebutuhan akan achievement memang sangat berpengaruh kepada drive kita dalam mengelola hidup, aktivitas sehari-hari, mengembangkan karir, berbisnis, dan seterusnya.

Dalam hubungannya dengan pendidikan anak, perasaan itu bisa ditumbuhkan sejak kecil dengan memberikan motivasi, dan menajamkan instink mereka – bukan saja kemampuan akademis.