Sejak menikah, saya dan suami bekerja. Pada H+1 sejak pernikahan kami, saya langsung
boyong ke rumah kontrakan suami di sebuah pavilion di Jalan Radio Dalam. Kebetulan rumah induknya milik teman sekantor
kami juga.
Kemudian saya hamil anak pertama yang tadinya kami tidak
mempunyai pembantu, jadi mencari pembantu senior yang biasa mengurusi bayi
untuk merawat bayi kami setelah saya harus masuk kantor kembali. Pembantu ini kalau sore setelah saya pulang
kantor, dia pulang kerumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami. Jadi anak malam hari hanya bersama saya dan
suami. Dari sana kemudian terbangun apa
saja kebiasaan bayi saya kala malam hari dan kedekatan kami tetap terjaga. Saya dan suami juga sepakat bahwa kalau week
end kita mau jalan-jalan ke rumah orang tua saya, maka kita tidak usah membawa
pembantu. Jadi semua kebutuhan anak kita
tangani sendiri. Sampai pada suatu hari,
ibu saya berkunjung kerumah saya dan menangis, beliau mengatakan “seharusnya
ibu/eyang kan bisa menjagai anakmu kalau kamu sedang ke kantor”. Lalu saya katakan, tidak apa2 dan Ibu tidak
usah bersedih karena proses ini sudah berjalan dengan baik.
Memasuki usia anak masuk TK, saya memperkenalkan anak dengan
dunia social, interaksi dengan teman, tidak membelikan dia game2 komputer
seperti Nintendo dan sebagainya dan lebih mengutamakan kegiatan luar ruang. Sebagai gantinya Bapaknya mengajari anaknya
duduk di depan computer lalu disuruh mengetik kata yang dia senangi, jadilah
dia mengetik “Doraemon” di layar Google Search.
Maka keluar semua gambar dora emon dan dia senang. Lalu mencoba kata-kata yang lain. Itupun dilakukan saat dia kita ajak ngelembur
di kantor pada hari Sabtu, sehingga biar dia tahu juga lingkungan kerja orang
tuanya (kebetulan saya dan suami sekantor di perusahaan IT).
Ketika masuk TK, kami
putuskan dia harus ikut antar jemput sekolah – lalu kami ceritakan bahwa kalau
naik mobil antar jemput jadi banyak temen, toh sekolah tidak terlalu jauh
juga. Pada hari kedua anak saya yang tua
sudah mau naik mobil antar jemput, sedang tetapi dari belakang kami masih
membututi takut2 dia mogok atau ngambek.
Tapi setelah seminggu dia sudah naik mobil itu sendiri tanpa dikawal. Setelah anak kedua lahir, dan anak saya yang
kedua sudah usia sekitar 4 tahun, saya naikkan ke pesawat Jakarta – Jogja tanpa
orang tua, dan disana akan di jemput oleh Tantenya. Sempat 2 x saya lakukan,, pertama anak yang
tua malah menangis karena takut, tapi dengan membujuk dan mengatakan bahwa kamu
harus bangga bisa naik pesawat sendiri, maka dia lalu berani sambil menjaga
adik.
Pada masa mau masuk SMU, mereka selalu ingin masuk sekolah
favorit, tapi jaraknya lumayan jauh dari rumah kami, jadi saya tekankan, syarat
pertama kamu harus masuk rankin karena persaingan ketat, kedua harus mampu
pulang dan pergi ke sekolah naik kendaraan umum bersama teman-teman. Intinya tidak boleh merepotkan orang tua
dalam hal antar dan jemput. Ini terus
berlaku hingga kuliah.
Ketika mengenang kembali semua proses tumbuh kembang anak
saya, baru menyadari bahwa saya telah mengembangkan pribadi yang mandiri pada
anak. Untuk mengambil keputusan tertentu misalnya ikut study tour
atau tidak, baru mereka diskusi sama saya bagaimana sebaiknya. Dalam beberapa hal setelah mereka mendengar
pertimbangan dari sudut pandang saya sebagai ibu, pelaksanaan program yang
mereka pilih menjadi lebih kaya dan lebih mencapai sasaran. Tetapi secara umum saya membebaskan mereka
untuk memilih atau melakukan ekstra kulikuler yang mereka senangi dan dimana
perlu saya ikut melakukan persiapan-persiapannya. Bukankan anak sebaiknya di encourage dan
bukan di discourage?
Keinginan untuk mandiri pada anak harus didukung oleh orang
tuanya, along the way kita juga harus memberikan pendidikan moral agama agar
dalam memilih langkah kegiatan atau teman mereka punya pakem yang jelas arah
mana yang akan ditempuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar